Membaca Novel “THE SOLOMON TEMPLE”
Bayu Ambuari *
akar-akal.blogspot.com
Ketika pertama kali saya membaca tulisan “The Solomon Temple” yang
tertera pada sampul novel maka seketika itu pula pikiran saya mengarah
pada sebuah tema yang luas, lintas agama (Yahudi, Nasrani dan Islam).
Dan kata tambahan ‘Memburu Dua Pusaka Illuminati’ telah “mempersempit”
ruang lingkup pembahasan yang akan dibahas dalam novel ini.
Seketika itu pula saya menilai bahwasanya akan ada referensi sejarah,
baik itu sejarah agama, arkeologi dan bidang-bidang yang berhubungan
dengan cerita. Akan ada “aksi-aksi” intelejen di dalamnya. Dan seketika
pula saya meyakinkan diri bahwasanya “inilah genre saya.” Yang kemudian
setelah membacanya, harapan dan keyakinan awal saya tersebut tidaklah
keliru.
Bagian Prolog adalah chapter yang paling saya suka. Di mana pada
bagian ini dengan mudah dan cepat saya dapat mengambil kesimpulan awal
tentang gaya bahasa serta gaya penulisan dan story telling yang akan
digunakan pada chapter-chapter berikutnya. Gaya bahasa dan penyampaian
cerita bersifat padat, straight to the point namun cukup rinci. Pembaca
novel-novel terjemahan mungkin tak akan lagi asing dengan gaya seperti
ini. Prolog juga menununjukkan beberapa detail kunci yang nantinya akan
ditemukan jawaban dan penjambarannya pada chapter-chapter berikutnya.
Ada hal yang mampu mengecoh saya, tentang tokoh yang terhempas dan
terluka akibat peristiwa penambakan yang dialami sebelumnya –Profesor
Syibil Balqish, yang pada mulanya saya pikir adalah seorang pria. Dan
sedikit penggalan paragraf yang akan coba saya tulis berikut ini adalah
bagian yang paling saya sukai dari keseluruhan novel The Solomon Temple,
yang mungkin juga menjadi salah satu pesan yang ingin disampaikan oleh
penulis –Zhaenal Fanani: “Prospek kematian menjadi motivasi menakjubkan
yang mampu menggugah setiap inci sel dalam tubuh untuk mencari
alternatif. Bahkan ketika tubuh dalam kondisi mati rasa dan tak berdaya
sekalipun.”
Ada hal yang patut diacungkan jempol, yakni tentang dua tokoh; Arioch
dan Profesor Syibil Balqish. Jika disimak dari awal hingga akhir,
berdasarkan detail dan deskripsi pada isi novel, saya beranggapan
bahwasanya Arioch adalah tokoh utama dan Profesor Syibil Balqish adalah
tokoh “pembantu”. Ketika umumnya tokoh utama adalah seseorang yang
dideskripsikan dengan watak yang nyaris sempurna bak pahlawan dan
manusia pujaan, penulis justru menempatkan tokoh antagonis sebagai tokoh
utama dan Profesor Syibil Balqish sebagai “tokoh pembantu” tetapi tetap
tidak kehilangan peran pentingnya –sebagai sosok kunci.
Satu hal yang membuat saya kecewa adalah tentang dua chapter akhir
yang menurut saya mungkin tidak perlu ada atau seandainya jika boleh
tidak menjadi seperti itu. Karena bagi saya kedua chapter itu telah
kehilangan aura sebab tak ada lagi penasaran atau misteri yang harus
saya ungkap –tentang asal-usul Arioch, Aron Wanger, Colan Clavis yang
sebenarnya telah dengan mudah dapat diterka pada chapter 22.
Akhir kata, novel ini adalah novel yang menarik, unik dan terdapat
beberapa hal yang mampu dijadikan sebagai referensi –utamanya bagi para
penyuka genre konspirasi bertema Illuminati dan atau Freemason. Saya
sangat mengapresiasi novel ini dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
*) Bayu Ambuari, Penikmat Seni dan Budaya
Dijumput dari: http://akar-akal.blogspot.com/2013/08/kritik-sastra-novel-solomon-temple.html
Sumber : http://sastra-indonesia.com/2013/10/membaca-novel-the-solomon-temple/ diakses tanggal 7 oktober 2013
0 comments:
Post a Comment